Minggu, 03 Juni 2012

REVIEW JURNAL PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI

REVIEW JURNAL : PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH
                                SEBUAH KEWENANGAN BARU PERADILAN AGAMA *
PENGARANG     : PROF.DR. H. ABDUL MANAN, SH., S.IP., M.Hum.
                                                                      
NAMA ANGGOTA
1.     RIZKY NAILUVAR              (26210179)
2.     YESI KURNIYATI               (28210624)
3.     RATNA SARI                       (25210672)
4.     DILLA OETARI. D               (22210016)
5.     AHRARS BAWAZIER           (29210101)
KELAS                                                            : 2EB05
 
Abstrak  
Dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah terdapat dua metode untuk menyelesaikannya yaitu berdasarkan tradisi islam klasik dan berdasarkan tradisi hukum positif di Indonesia. Kedua metode ini sama tujuannya yaitu menyelesaikan dengan musyawarah yg mufakat. Dalam penyelesaiannya juga, terdapat hukum-hukum yg menjadi acuan nya dan solusi dalam kendala-kendala yg di hadapi oleh lembaga yg bersangkutan.
 
I.  PENDAHULUAN
Sebelum lahirnya peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum formil dan hukum materiel tentang ekonomi syari‟ah, dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari‟ah sebaiknya hakim Pengadilan Agama menguasai hukum perjanjian yang terdapat dalam hukum perdata 3
umum (KUH Perdata), juga semua fatwa-fatwa Dewan Syari‟ah Nasional Indonesia, dan Dewan Wakaf Nasional Indonesia. Saat ini Kelompok Kerja Perdata Agama (Pokja-Perdata Agama) Mahkamah Agung RI bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat (PPHIM) sedang menyusun semacam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari‟ah untuk menjadi pegangan aparat lembaga Peradilan Agama, tentu hal ini sambil menunggu peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan ekonomi syari‟ah diterbitkan.
 Berdasarkan pasal 49 huruf ( i ) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ditegaskan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara termasuk “ekonomi syari‟ah”. Yang dimaksud dengan ekonomi syari‟ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari‟ah yang meliputi bank syari‟ah, lembaga keuangan mikro syari‟ah, asuransi syari‟ah, reasuransi syari‟ah, reksadana syari‟ah, obligasi syari‟ah dan surat berharga berjangka menengah syari‟ah, sekuritas syari‟ah, pembiayaan syari‟ah, pergadaian syari‟ah, dana pensiun lembaga keuangan syari‟ah dan bisnis syari‟ah.
Ruang lingkup wakaf berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tidak hanya dalam ruang lingkup benda tidak bergerak saja, tetapi meliputi benda wakaf bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud seperti uang, logam mulia, hak sewa, transportasi dan benda bergerak lainnya. Wakaf benda bergerak ini dapat dilakukan oleh wakif melalui lembaga keuangan syari‟ah yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti Bank Syari‟ah. Kegiatan wakaf seperti ini termasuk dalam kegiatan ekonomi dalam arti luas sepanjang penglolaannya berdasarkan prinsip syari‟ah.
 
II.   PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH BERDASARKAN TRADISI ISLAM KLASIK
1.    Al Sulh (Perdamaian)
Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian damai dapat diklasifikasi kepada bebarapa hal sebagai berikut :
a.    Hal yang menyangkut subyek
b.    Hal yang menyangkut obyek
c.    Persoalan yang boleh didamaikan (disulh-kan)
d.    Pelaksana perdamaian
2.    Tahkim (Arbitrase)
3.    Wilayat al Qadha (Kekuasaan Kehakiman)
a.    Al Hisbah
b.    Al Madzalim
c.    al Qadha (Peradilan)
 
III.   PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH BERDASARKAN TRADISI HUKUM POSITIF INDONESIA
1. Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR)
Konsep sulh (perdamaian) sebagaimana yang tersebut dalam berbagai kitab fiqih merupakan satu doktrin utama hukum Islam dalam bidang muamalah untuk menyelesaikan suatu sengketa, dan ini sudah merupakan conditio sine quo non dalam kehidupan masyarakat manapun, karena pada hakekatnya perdamaian bukalah suatu pranata positif belaka, melainkan lebih berupa fitrah dari manusia.
Disini akan dijelaskan tentang pengertian singkat tentang bentuk-bentuk ADR sebagai berikut :
a. Konsultasi
Black‟s Law Dictionary memberi pengertian Konsultasi adalah “aktivitas konsultasi atau perundingan seperti klien dengan penasehat hukumnya”.
b. Negosiasi
Dalam Business Law, Prinsiples, Cases and Policy yang disusun oleh Mark E. Roszkowski disebutkan : Negosiasi proses yang dilakukan oleh dua pihak dengan permintaan (kepentingan) yang saling berbeda dengan membuat suatu persetujuan secara kompromis dan memberikan kelonggaran
c. Konsiliasi
Black‟s Law Dictionary menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan konsiliasi adalah penciptaan penyesuaian pendapat dan penyelesaian suatu sengketa dengan suasana persahabatan dan tanpa ada rasa permusuhan yang dilakukan di pengadilan sebelum dimulainya persidangan dengan maksud untuk menghindari proses legitasi.
d. Pendapat atau Penilaian Ahli
Bentuk ADR lainnya yang diintrodusir dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1990 adalah pendapat (penilaian) ahli.
2. Arbitrase (Tahkim)
Biasanya dalam kontrak bisnis sudah disepakati dalam kontrak yang dibuatnya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dikemudian hari di antara mereka. Usaha penyelesaian sengketa dapat diserahkan kepada forum-forum tertentu sesuai dengan kesepakatan. Ada yang langsung ke lembaga Pengadilan atau ada juga melalui lembaga di luar Pengadilan yaitu arbitrase (choice of forum/choice of jurisdiction).
a. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
Sebagian besar di negara-negara barat telah memiliki lembaga arbitrase dalam menyelesaikan berbagai sengketa ekonomi yang timbul akibat wanprestasi terhadap kontrak-kontrak yang dilaksanakannya.
b. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
Perkembangan bisnis ummat Islam berdasar syari‟ah semakin menunjukkan kemajuannya, maka kebutuhan akan lembaga yang dapat menyelesaikan persengketaan yang terjadi atau mungkin terjadi dengan perdamaian dan prosesnya secara cepat merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak.
c. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) berkedudukan di Jakarta dengan cabang atau perwakilan di tempat-tempat lain yang dipandang perlu.
IV. SUMBER HUKUM DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH.
1. Sumber Hukum Acara (Hukum Formil)
Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama untuk mengadili sengketa ekonomi syari‟ah adalah Hukum Acara yang berlaku dan dipergunakan pada lingkungan Peradilan Umum.
2. Sumber Hukum Materil
a. Nash al Qur‟an
Dalam al Qur‟an terdapat berbagai ayat yang membahas tentang ekonomi berdasarkan prinsip syariah yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan berbagai masalah ekonomi dan keuangan.
b. Nash al Hadits
Melihat kepada kitab-kitab Hadits yang disusun oleh para ulama ahli hadits dapat diketahui bahwa banyak sekali hadits Rasulullah SAW yang berkaitan langsung dengan kegiatan ekonomi dan keuangan Islam.
3. Peraturan Perundang-Undangan
Banyak sekali aturan hukum yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mempunyai titik singgung dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini. Oleh karena itu Hakim Peradilan Agama harus mempelajari dan memahaminya untuk dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara ekonomi syari‟ah.
4. Fatwa-fatwa Dewan Syari‟ah Nasional (DSN)
Dewan syari‟ah Nasional (DSN) berada dibawah MUI, dibentuk pada tahun 1999. Lembaga ini mempunyai kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari‟ah.
5. Aqad Perjanjian (Kontrak)
Mayoritas Ulama berpendapat bahwa asal dari semua transaksi adalah halal. Namun asal dari persyaratan memang masih diperselisihkan. Mayoritas Ulama berpendapat bahwa persyaratan itu harus diikat dengan nash-nash atau kesimpulan-kesimpulan dari nash berdasarkan ijtihad.
6. Fiqih dan Ushul Fiqih
Fiqih merupakan sumber hukum yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari‟ah. Sebagian besar kitab-kitab fiqih yang muktabar berisi berbagai masalah muamalah yang dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah ekonomi syari‟ah.
7. Adab Kebiasaan
Islam sengaja tidak menjelaskan semua persoalan hukum, terutama dalam bidang muamalah didalam al Qur‟an dan al Sunnah. Islam meletakkan prinsip-prinsip umum yang dapat dijadikan pedoman oleh para Mujtahid untuk berijtihad menentukan hukum terhadap masalah-masalah baru yang sesuai dengan tuntutan zaman.
8. Yurisprudensi
Sampai saat ini belum ada yurisprudensi (putusan Pengadilan Agama) yang berhubungan dengan ekonomi syari‟ah.
 
 V. PENUTUP
Beberapa hal yang menyangkut permasalahan dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari‟ah, Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama. Sudah tentu kendala-kendala yang dihadapi cukup banyak, namun sebahagian kecil permasalahan tersebut telah diuraikan di atas dengan maksud semua pihak, terutama aparat di lingkungan Peradilan Agama supaya mempersiap diri menghadapi kendala-kendala tersebut, guna mengantisipasi dalam menangani kasus-kasus penyelesaian sengketa ekonomi Syari‟ah yang ditugaskan kepadanya.
 
Kesimpulan
Salah satu wewenang peradilan agama adalah memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara termasuk “ekonomi syari‟ah”. Contoh kasus yg terjadi adalah sengketa ekonomi syariah di selesaikan melalui pengadilan umum, bukan pengadilan agama. Karena hal ini tidak sesuai dengan proporsi nya. Seharusnya pihak yg lebih memahami masalah mengenai syariah lah yg menyelesaikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar